Dewasa adalah pilihan tapi menjadi tua itu pasti dan aku
tahu pasti ada masanya dimana wajahku akan nampak garis-garis tegas berkeriput.
Kulit tak sekencang dan sekenyal dulu. Mata mulai kesulitan membedakan warna,
dan beberapa metamorfosa lainnya yang terlalu banyak jika kujelaskan satu
persatu. Saat itulah aku bisa merasakan bahwa tubuh ini cukup lama mengarungi
lika-liku kehidupan, semakin renta dan ada saatnya untuk beristirahat.
Yah, ketika membayangkan masa senjaku, pikiranku
melayang-layang mulai membentuk angan-angan. saat masa itu tiba, Aku ingin
berada di tengah-tengah keluarga yang harmonis. anak-anakku, cucu-cucuku semua
berkumpul di dalam naungan yang sama. Saling berbagi cerita, tawa dan canda.
apabila sore tiba rumah telah rapi dan pelataran telah bersih tersapu, aku
bersama keluarga besarku berkumpul bersama di teras dan lagi-lagi dalam naungan
yang sama. Saling berbagi cerita dan menikmati senja bersama.
Aku.. bersama kamu, duduk di kursi rotan sembari menyeruput
secangkir susu cokelat kental. Mendengarkan lagu-lagu masa muda dan bernyanyi
bersama. Tanganku masih hangat kau genggam, kau rangkul tubuhku yang semakin
rapuh dengan begitu eratnya sekan menandakan “kalaupun nantinya
akan ada yang tiada, kita akan tiada bersama-sama”. aku memalingkan
pandanganku ke arahmu yang sedari tadi merangkul erat tubuhku. Kabur sekali.
Wajahmu sangat sulit aku tangkap dengan indra penglihatanku. Mungkin
penglihatanku memang sudah tak sejelas dulu. Aku kembali mengucek mataku, hanya
bayang-bayang. Kini tak hanya wajahmu saja yang sulit aku lihat, tapi tubuhmu
juga demikian. rangkulan tanganmu mulai mendingin, tak kurasakan kehangatan.
Dan aku dapati tanganmu memang tak lagi merangkul tubuh rentaku ini. Aku tak
mengerti.. senja yang indah kini berubah menjadi kekhawatiran, kehilanganmu.
Aku kembali menoleh ke arah mu, dan terlambat. Tak kudapati lagi kamu di
sampingku.. aku kembali menyeruput secangkir susu cokelat kental yang sudah
mendingin. Terjadi percakapan sederhana antara aku dan air mata , “ bersamamu di usia
senjaku. Mana bisa?” bersama lembutnya angin sepoi, kututup mataku dan aku
mulai nyaman dengan peristirahatanku.