skip to main |
skip to sidebar
Saat hendak melakukan hal-hal yang ga berguna, selalu inget
bahwa aku ini seorang anak, aset amalan orang tua yang tiada putusnya di dunia.
Kemudian berhenti, balik lagi
Dan berkali-kali mengucap terimakasih– jabatan ini akan ku gunakan sebaik-baiknya.
Ibu... jangan bosan untuk doakan, agar anakmu ini selalu bisa memberikan amalan yang nantinya bisa meringankan, bukan memberatkan.
Bapak... percayalah, aku sedang
berupaya, sudah banyak kekecewaan yang aku ciptakan selama masih di dunia, semoga tidak untuk kedua
kalinya di alam yang kini telah berbeda.
Semoga semuanya lillah.
Jam–hari–pekan–bulan, aku sudah tak mau lagi melanjutkan
perhitungan dimana aku dan kamu tak lagi saling mengirim pesan. Aku menyerah tuan.. Aku rindu percakapan tentang segala kehidupan– kehidupan makhluk-makhluk air,
kehidupan di udara, kehidupan di tanah bahkan kehidupan sebelum kehidupan. Aku juga rindu menjadi telinga yang saban hari mendengarkan kisah percintaan
yang tak kunjung menemukan jawaban. Ah.. aku rindu semuanya.
Aku hanyalah anak kecil yang berkali-kali mengutuki diri
sendiri mengapa aku bisa sampai sejauh ini. Jatuh hati pada laki-laki yang aku
sendiri merasa tidak pantas untuk mendampingi. Aku sudah tahu, perasaan ini
memang cukup dijadikan kenangan yang tersimpan, tidak butuh imbalan atau pun
balasan. Karena aku memang tidak merasa butuh itu, bersamamu hanya membuatku
merasa tidak enak hati, pada wanita yang jauh lebih menjaga hati dan menjaga
diri– yang pasti cocok untuk kamu yang luar biasa ini.
Tapi.. tetap rindu, tuan..
Kupikir aku sudah siap melewati masa kadaluarsa kebersamaan kita,
tapi nyatanya rasa ingin jumpa dan bersua tak kunjung mereda. Jadi,
bolehkah tetapkan aku sebagai apapun itu, asal aku masih bisa terus bertanya mengapa burung pulang disore hari? Soal ikan yang masih mendapat makanan
tanpa rebutan? Atau tentang Jakarta yang lampunya tidak pernah padam.
Kisah kita sudah rentan, sebentar lagi mungkin akan menuju kehancuran. Aku berkali-kali memastikan, apa iya ini masih bisa dipertahankan? Aku tak mendapatkan jawaban sedang kamu tak juga berusaha menyakinkan.
Aku benar-benar seperti manusia yang kehilangan arah. Ingin menyerah tapi rasanya tak mau kalah. Andaikan kamu sedikit saja punya rasa bersalah, mungkin cerita ini tidak akan begini parah.
Tentang kita–tanpa sadar telah membuat lubang besar di dasar hati. Bosan sekali mengatakan ini, tapi aku tak bisa membohongi. Sebuah intuisi yang aku tak bisa mengelak lagi, bahwa kamu memang benar penyebab satu-satunya hati jadi rasa mati. Hancur sekali.
Entah karena apa, aku berfikiran dijadikan pilihan, tak lebih seperti hinaan. Seharusnya memang sudah menang, tanpa ada pilihan dan perbandingan-perbandingan.
*Sore sudah hampir usai*
"Bulan.. Aku boleh berbicara lagi? Sebentar saja"
"Lima detik."
"Aku senang melihatmu seperti ini" - Matahari tersenyum
"?????"
"Tetap seperti ini, sepi kalau kita tak saling ganti. Jangan hilang-hilang lagi, ya.. Sepakat?"
“Itu saja? baiklah..
sepakat”
Manusia dengan penuh kebencian, itu dia kala itu.
Ketenangan rusak, jiwa pun begitu
Bodoh. Harusnya sudah dia usir dari dulu
kamu tahu?
Dia... sungguh. sangat. muak... dengan kamu.
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS